Tema: Revitalisasi Bahasa Daerah sebagai Bahasa Ibu.
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Aceh, Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI), Cut Santika, M.Pd., dipercaya sebagai juri pada lomba buhak atau mendongeng dalam rangka Festival Bahasa Ibu 2025 yang digelar oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bireuen.
Kegiatan yang berlangsung selama dua hari, Senin–Selasa, 17–18 November 2025, tersebut merupakan bagian dari rangkaian festival budaya tahunan yang bertujuan memperingati hari-hari besar dan menguatkan kembali nilai-nilai kebahasaan lokal di tengah tantangan globalisasi.
Festival ini mengusung tema “Revitalisasi Bahasa Daerah sebagai Bahasa Ibu”, yang mencerminkan komitmen Pemerintah Kabupaten Bireuen dalam menjaga eksistensi bahasa dan sastra Aceh di kalangan generasi muda. Tema tersebut sekaligus menjadi seruan moral bahwa bahasa daerah merupakan identitas inti masyarakat Aceh yang harus terus dipertahankan dan diwariskan secara turun-temurun.
Dalam perkembangan sosial-budaya dewasa ini, bahasa daerah menghadapi berbagai tantangan, mulai dari pergeseran penggunaan bahasa dalam keluarga, dominasi bahasa nasional dan internasional, hingga perubahan pola komunikasi masyarakat. Kondisi ini dikhawatirkan dapat melemahkan keberlanjutan bahasa ibu apabila tidak diimbangi dengan upaya pelestarian yang terarah.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bireuen merespons tantangan tersebut dengan menyelenggarakan Festival Bahasa Ibu, sebuah ruang edukatif dan kreatif bagi siswa untuk mengekspresikan kemampuan bertutur dalam bahasa Aceh melalui medium buhak atau mendongeng. Festival ini dirancang tidak hanya sebagai ajang kompetisi, tetapi juga sebagai sarana internalisasi nilai budaya dan pewarisan tradisi tutur Aceh.
Kegiatan tahun 2025 menjadi lebih istimewa karena digelar dalam rangka memperingati hari-hari besar budaya serta momentum revitalisasi bahasa daerah yang sedang digalakkan di berbagai daerah di Indonesia.
Festival dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bireuen, Dr. Muslim, M.Si., yang diwakili oleh Sekretaris Dinas, Zamzami, S.Pd., M.M. Dalam sambutannya, Zamzami menegaskan bahwa bahasa ibu merupakan fondasi pembentukan karakter budaya generasi muda Aceh. Ia menyampaikan apresiasi kepada sekolah, guru pembina, dan orang tua yang turut mendorong partisipasi siswa dalam kegiatan seni bahasa daerah.
Para peserta menampilkan kreativitas, ekspresi seni, serta keterampilan bertutur menggunakan bahasa Aceh dalam bentuk cerita rakyat, legenda daerah, kisah moral, hingga narasi kontemporer yang tetap memuat nilai-nilai budaya. Disamping itu, kami menyampaikan bahwa juri yang terlibat dalam kegitan Buhak/mendongeng terdiri dari; Cut Santika,M.Pd, Irvan,S.Pd, Yenni Darmayanti,S.Pd, inilah juri yang menentukan siapa yang lebih baik dalam kegiatan even ini.
Pelaksanaan lomba dibagi dalam dua hari, masing-masing untuk kategori SD berjumlah 19 siswa dan SMP berjumlah 20 siswa, dengan sesi penampilan yang berlangsung secara bergilir di hadapan para juri dan penonton. Setiap peserta diberi waktu tertentu untuk menyampaikan cerita dengan gaya bertutur khas Aceh, lengkap dengan intonasi, gestur, dan alur cerita yang mendukung aspek komunikasi lisan tradisional.
Kehadiran Cut Santika, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Aceh UNIKI, menjadi bagian penting dalam pelaksanaan festival ini. Sebagai akademisi yang bergelut dalam bidang linguistik, sastra, dan pedagogi bahasa Aceh, Cut Santika memiliki kompetensi yang relevan dalam memberikan penilaian yang objektif dan berkualitas terhadap performa peserta.
Dalam kesempatan tersebut, beliau menyampaikan bahwa kemampuan bertutur Aceh melalui kegiatan mendongeng perlu terus dibina karena menjadi jalan efektif untuk menanamkan kecintaan anak terhadap bahasa ibu.
Menurutnya, generasi muda saat ini menghadapi tantangan besar berupa penetrasi budaya digital dan bahasa global, sehingga aktivitas kultural seperti festival mendongeng menjadi strategi penting dalam menjaga eksistensi bahasa daerah.
Ia juga memberikan apresiasi terhadap antusiasme peserta dan kreativitas yang ditampilkan. Tampak bahwa banyak siswa telah melakukan persiapan optimal dan menguasai materi cerita dengan baik, mulai dari pemahaman alur hingga penjiwaan tokoh.
Ini lah bukti kolaborasi Lintas Lembaga, Keterlibatan akademisi dari UNIKI menunjukkan sinergi antara perguruan tinggi dan pemerintah daerah dalam pelestarian budaya. Dengan demikian, festival ini memiliki nilai strategis dalam pengembangan literasi budaya serta keberlanjutan bahasa daerah sebagai bagian dari peradaban Aceh.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bireuen, M. Tasrief, S.E., M.M., menyampaikan bahwa pemenang juara pertama dari masing-masing jenjang akan mewakili Kabupaten Bireuen pada Festival Bahasa Ibu tingkat Provinsi Aceh. Hal ini memberi motivasi tambahan bagi peserta untuk menampilkan performa terbaik serta membuka peluang bagi siswa Bireuen untuk berprestasi pada tingkat yang lebih tinggi.
Tasrief menambahkan bahwa kegiatan ini juga bertujuan menjaring talenta-talenta muda yang memiliki minat mendalam terhadap bahasa dan sastra Aceh. Dengan demikian, regenerasi pegiat seni tutur Aceh dapat berlangsung secara berkesinambungan.
Atmosfer festival tampak meriah dan penuh semangat. Setiap peserta menampilkan gaya bertutur yang beragam, mulai dari penyampaian cerita yang lembut dan penuh nilai moral, hingga alur kisah yang lebih ekspresif dan dinamis. Selain itu, kegiatan dilaksanakaan pada mument ini seperti Buhak/dongeng,pidatoe,hadih,lagu jameun,ceurita peneuk, dan cagok, dan berbagai kisah hikmah lainnya menjadi pilihan favorit peserta.
Penilaian juri mencakup beberapa aspek, antara lain: penguasaan bahasa Aceh, kesesuaian cerita dengan nilai-nilai budaya, teknik bercerita (intonasi, ekspresi, gesture), kreativitas penyajian Ketekunan dan rasa percaya diri peserta. Para peserta menunjukkan kemampuan yang mengesankan, terutama dalam memadukan unsur tradisional dengan gaya bertutur yang lebih komunikatif dan menarik bagi penonton.
Dari perspektif akademik, festival mendongeng ini bukan sekadar kompetisi, tetapi sebuah intervensi kultural yang strategis bagi upaya revitalisasi bahasa daerah. Tradisi tutur (oral tradition) merupakan bagian inti dari kajian linguistik antropologis yang berperan menjaga kesinambungan pengetahuan budaya.
Beberapa poin penting dalam revitalisasi melalui festival ini antara lain: Internalisasi Bahasa Ibu sejak Dini. Anak-anak yang terlibat dalam aktivitas bertutur akan lebih mudah memahami struktur bahasa Aceh, kosakata, serta gaya komunikasinya. Penguatan Identitas Kultural. Bahasa ibu adalah simbol identitas masyarakat. Dengan menggunakan dan mempelajarinya, generasi muda memperkuat rasa memiliki terhadap budaya Aceh. Ruang Kreativitas Siswa.
Mendongeng memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi ekspresi seni, kemampuan berbicara, dan daya imajinasi. Transfer Nilai dan Moral, Kisah-kisah yang diangkat biasanya memuat pesan moral yang penting dalam pembentukan karakter generasi muda.
Apresiasi dan Penutupan Festival, Festival Bahasa Ibu 2025 ditutup dengan penuh apresiasi kepada para peserta terbaik dari kedua jenjang pendidikan. Para pemenang menerima penghargaan sebagai bentuk motivasi untuk terus melestarikan bahasa Aceh, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi kompetisi tingkat provinsi.
Suasana penutupan berlangsung hangat, menandai berakhirnya rangkaian kegiatan yang sarat makna kultural. Para guru, pembina, dan orang tua menyambut baik kegiatan ini sebagai media pengembangan karakter dan kemampuan berbahasa Aceh pada diri siswa.
Dengan adanya Festival Bahasa Ibu 2025, diharapkan: Siswa memiliki komitmen lebih kuat untuk menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Guru dan sekolah semakin termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran bahasa daerah yang lebih kreatif.
Muncul lebih banyak kegiatan kultural yang melibatkan generasi muda. Pemerintah daerah terus mengembangkan program revitalisasi bahasa daerah secara berkelanjutan. Perguruan tinggi, seperti UNIKI, semakin intens berkontribusi pada penelitian dan pengembangan kebahasaan Aceh.
Festival ini bukan hanya ajang lomba, tetapi platform akademik-kultural yang menegaskan bahwa bahasa Aceh memiliki ruang hidup yang aktif dalam masyarakat, terutama di kalangan pelajar.
Penulis:
Yusri,S.Sos.,M.Si.,M.S
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisniss UNIKI Bireuen
