Mentri Keuangan Republik Indonesia Dr. Sri Mulyani,3(Tiga) Era,SBY 2005-2010,Joko Widodo 2016-2024,Prabowo Subianto, 2024-2025
Bahwa Kerangka Kebijakan dan Konsep Ekonomi di Bawah Sri Mulyani adalah: Fokus pada stabilitas fiskal, reformasi pajak, dan peran APBN; Selama masa jabatan Sri Mulyani, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dikelola sedemikian rupa untuk mendukung stabilitas ekonomi, baik kala krisis maupun pemulihan.
Pemerintah di bawah dia juga melaksanakan reformasi di sistem perpajakan yang termasuk kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN): misalnya PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11%.
Rencana awal menaikkan PPN ke 12% dibatalkan setelah penolakan publik luas yang akhirnya tarif 12% hanya berlaku untuk barang-barang mewah/PPnBM(Paja penjualan atas barang mewah), bukan umum.
Peran APBN sebagai stabilisator ekonomi, sosial, dan daya beli Masyarakat: Sri Mulyani menyatakan bahwa APBN dipakai sebagai shock absorber(Meredakan getaran) terhadap gejolak ekonomi, seperti ketika krisis global atau pandemi. Saat inflasi global meningkat, APBN digunakan untuk melindungi daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan(Mudah dipengaruhi) melalui program perlindungan sosial, subsidi, bantuan, dan intervensi harga.
Kebijakan harga dan intervensi langsung, selain pajak untuk menjaga stabilitas: Dalam beberapa periode terjadi deflasi (penurunan harga), yang menurut Sri Mulyani bukan akibat konsumsi lesu, melainkan intervensi pemerintah terhadap harga komoditas tertentu, termasuk listrik, transportasi, dan tol.
Kebijakan semacam insentif atau subsidi dianggap alat stabilisasi agar daya beli masyarakat tetap terjaga, terutama di masa tekanan harga global.
Dampak Kebijakan Sri Mulyani terhadap Masyarakat dan Ekonomi Indonesia: Pajak dan beban fiskal: distribusi beban dan kritik publik; Kenaikan PPN memicu protes publik, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Banyak yang menilai bahwa kenaikan pajak menambah beban konsumsi.
Kebijakan ini memunculkan persepsi bahwa fiskal diarahkan lebih kepada penerimaan negara yang kemudian digunakan untuk pengeluaran negara dibanding meringankan beban masyarakat. Kritik semacam ini diperkuat oleh kekecewaan publik terhadap beban hidup yang dianggap meningkat. Sebagai contoh: pajak dan beban Pendidikan yang menggambarkan keresahan bahwa kebijakan pajak dan beban negara dipandang berat bagi sebagian masyarakat.
APBN dan intervensi harga: stabilisasi harga dan daya beli; Ketika terjadi fluktuasi harga global (komoditas, energi, pangan), APBN digunakan untuk menstabilkan harga domestic, misalnya dengan subsidi listrik, diskon transportasi, kompensasi pajak tiket pesawat yaitu Pajak ditanggung oleh pemerintah(DTP) sehingga dampaknya positif bagi daya beli rumah tangga, terutama kelas bawah.
Saat deflasi 2024–2025: menurunnya harga pangan dan utilitas membantu menjaga daya beli masyarakat. Menurut Sri Mulyani, deflasi ini bukan karena konsumsi melemah, melainkan intervensi kebijakan.
Ketahanan fiskal dan manajemen utang adalah campuran antara utang dan penerimaan domestik; bahwa Kebijakan pajak dan penerimaan negara menjadi bagian penting dari penerimaan negara (pendapatan APBN), bukan hanya mengandalkan utang. Hal ini menunjukkan upaya menjaga agar beban utang tidak menjadi satu-satunya penopang APBN.
Namun, seperti negara lain pada kondisi global bergejolak, sebagian belanja tetap ditopang melalui defisit APBN, artinya utang dan Surat berharga negara(SBN) tetap menjadi instrumen bila kondisi menuntut.
Stabilitas makro dan pencegahan krisis adalah peran proaktif di tengah gejolak global; Melalui kombinasi pajak, subsidi, belanja negara, intervensi harga maka ekonomi relatif stabil. Misalnya dalam periode delapan kuartal berturut-turut, APBN dipakai mendukung pemulihan dan pertumbuhan Ekonomi 5%.
Stabilitas inflasi secara umum dipertahankan dalam target, yang membantu menjaga daya beli rakyat dan menghindari lonjakan harga secara drastis.
Dynamika Inflasi /deflasi (Kenaikan harga barang dan jasa secara umum yang menyebabkan nilai uang menurun dan daya beli Masyarakat berkurang/ atau penurunan harga barang, jasa secara umum dan harga lebih rendah, terlihat menguntungkan konsumen dan juga deflasi dapat merusak ekonomi karena penurunan permintaan).
Selanjutnya, pada Masa Sri Mulyani; Di akhir tahun 2024, inflasi Indonesia tercatat hanya 1,57%, yang merupakan inflasi terendah sejak penghitungan inflasi modern. Memasuki 2025, pada Februari tercatat deflasi tahunan sebesar ~0,09% (Year on year) dari tahun ketahun(YoY).
Disamping itu, Pemerintah melalui Sri Mulyani memaknai deflasi bukan sebagai indikasi konsumsi turun, tapi hasil dari intervensi harga yaitu subsidi listrik, diskon tol & transportasi, insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung pemerintah(PPN DTP) sehingga dampak terhadap daya beli dianggap relatif terjaga.
Namun, terdapat pula kritik yang menyatakan bahwa tingkat inflasi yang terlalu rendah, bahkan mendekati deflasi, dapat mencerminkan melemahnya permintaan agregat atau menurunnya daya beli riil masyarakat. Kondisi ini berpotensi menjadi sinyal adanya perlambatan aktivitas ekonomi.
khususnya di sektor produksi dan distribusi, karena pelaku usaha menghadapi penurunan volume penjualan, berkurangnya investasi, serta peningkatan risiko penurunan laba dan pemutusan hubungan kerja. Jika berlangsung dalam jangka panjang, situasi tersebut tidak hanya menghambat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dapat memperlemah stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Banyak masyarakat yaitu terutama kelompok menengah ke bawah merasa kebijakan pajak (seperti PPN) dan beban fiskal berat bagi konsumsi sehari-hari. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah kebijakan ini benar-benar mendukung kesejahteraan masyarakat luas atau lebih untuk memenuhi target penerimaan negara.
Ada persepsi bahwa pajak dan komponen penerimaan diarahkan untuk belanja negara besar, infrastruktur, subsidi, program nasional, dan bukan langsung untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat.
Polemik publik terhadap beban pajak ikut mendorong resistensi keras contoh: rumah Sri Mulyani pernah menjadi sasaran ketika kritik publik memuncak.
Di sisi lain, upaya stabilisasi harga dan subsidi menujukkan bahwa kebijakan tidak sepenuhnya keras, ada elemen proteksi sosial, terutama di masa krisis global, kenaikan harga komoditas, atau tekanan inflasi.
Kesimpulannya: kebijakan Sri Mulyani relatif seimbang antara menjaga penerimaan negara, stabilitas makro, dan proteksi social, meskipun beban pajak memunculkan kontroversi dan pertanyaan tentang distribusi keuntungan fiskal.
Sedangkan Ketika pergantian Mentri Keuangan yaitu peralihan ke Purbaya Yudhi Sadewa: Arah Baru Kebijakan Ekonomi 2025 di tangan bapak Purbaya sebagaimana cerita dibawah ini….

Foto bapak Dr.Purbaya Yudhi Sadewa Sbg Mentri Keuangan,8 September 2025
Arah kebijakan yang dlakukan oleh Purbaya bahwa: dari basis utang ke basis pendapatan, pro-pertumbuhan dan insentif investasi; Salah satu prinsip yang dikemukakan Purbaya: mengubah strategi ekonomi dari “berbasis utang” menjadi “berbasis pendapatan”. Ia menyatakan APBN akan dikelola secara countercyclical, artinya, jika ekonomi tumbuh, utang tak perlu ditambah; tetapi jika memerlukan stimulus, utang bisa dipakai. Bisnis Ekonomi+1
Fokus kebijakan ke depan diarahkan kepada pertumbuhan, investasi domestik, peningkatan produktivitas, dan penggerak ekonomi melalui sektor nyata — bukan hanya konsumsi atau belanja negara.
Dengan target ambisius: di medium-term, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8% dalam waktu 3-4 tahun kedepan, sebagai bagian dari visi menjadi negara maju.
Pendekatan terhadap pajak, penerimaan negara, dan pemerataan beban fiscal; Saat ini Purbaya mengaku belum menyiapkan kebijakan khusus terkait penerimaan negara. Ia menyatakan masih menunggu instruksi dari presiden, dan fokus awal adalah “belajar dulu” di dirjen pajak. kontan.co.id+1
Namun ada tekanan dari publik dan Ekonom(tokoh ekonomi) agar kebijakan pajak berikutnya lebih pro-rakyat, terutama memberi keringanan bagi pekerja kelas menengah bawah untuk mengurangi beban konsumsi dan menjaga daya beli
Fokus pada efisiensi anggaran, tata kelola utang, dan stimulus ekonomi adalah bukan sekadar defisit besar; Purbaya menekankan bahwa kebijakan fiskal harus pro — growth oriented dan efisien. Dia menolak pendekatan manajemen keuangan publik yang terlalu bergantung pada utang.
Jika ekonomi butuh stimulus, pemerintah bersedia menggunakan utang secara terukur,akan tetapi batas utang tidak dianggap kaku, melainkan fleksibel sesuai kondisi ekonomi.
Pemerintah di bawah Purbaya juga tampak akan mempercepat pelaksanaan belanja atau program pemerintah agar dampak terhadap pertumbuhan ekonomi terasa lebih cepat.
Selain itu potensi: pertumbuhan, investasi, dan keringanan fiscal; Jika berhasil, strategi berbasis pendapatan dan efisiensi fiskal bisa mengurangi beban utang jangka panjang dan membuka ruang untuk stimulus tanpa mengorbankan stabilitas.
Dengan target pertumbuhan tinggi, jika didukung investasi dan produktivitas dalam negeri bisa tercipta lapangan kerja, peningkatan daya beli, dan pemerataan ekonomi.
Bila penerimaan negara dikompensasi melalui basis pajak yang lebih adil (tidak membebani konsumsi rakyat bawah), maka beban fiskal bisa diturunkan, meskipun ini tergantung kebijakan konkret di masa depan.
Disamping itu risiko dan tantangan: kredibilitas fiskal, inflasi, defisit, dan perasaan public; Peralihan cepat ke belanja ekspansif dan stimulus bisa menimbulkan kekhawatiran terhadap defisit anggaran besar dan tekanan inflasi jika tidak diimbangi pertumbuhan riil.
Publik menuntut transparansi, terutama setelah kritik terhadap manajemen pajak dan belanja di masa sebelumnya. Jika tidak dikelola dengan baik, kepercayaan publik bisa menurun lagi.
Namun penekanan pada efisiensi dan “bersih-bersih” birokrasi (misalnya, pemberantasan mafia pajak/ bea-cukai) bisa memberi sinyal positif, tetapi perlu dukungan kelembagaan dan regulasi untuk mewujudkannya tanpa disrupsi(Mengubah dari system lama ke system baru) layanan publik.
Arah Kebijakan Ekonomi Indonesia ke depan di bawah Purbaya & Presiden Prabowo, berdasarkan pernyataan dan target resmi sejak pelantikan, tampak beberapa arah kebijakan ekonomi Indonesia ke depan:
Growth-oriented economy(Ekonomi berorientasi pertumbuhan), prioritas pada pertumbuhan ekonomi tinggi (target 8% dalam waktu 3-4 tahun kedepan), melalui kombinasi investasi, produktivitas, dan stimulus fiskal jika perlu.
Manajemen fiskal lebih fleksibel & disiplin,bahwa utang bukan tabungan utama, tetapi instrumen apabila kondisi ekonomi memerlukan stimulus; penggunaan APBN disesuaikan kondisi ekonomi countercyclical(Kebijakan ekonomi untuk menstabilkan siklus bisnis).
Stimulus untuk sektor riil, investasi dan UKM, agar basis ekonomi melebar, produktivitas meningkat, dan beban pajak/ fiskal tidak membebani terlalu berat bagi masyarakat & pelaku usaha.
Disamping itu transparansi, tata kelola bersih, dan reformasi kelembagaan yang termasuk kemungkinan reformasi di perpajakan, bea-cukai, dan efisiensi belanja; tujuan: membangun kepercayaan publik dan investor.
Namun, sejauh ini Purbaya masih dalam tahap awal, banyak rencana dikaji dan belum ada kebijakan pajak besar yang diumumkan secara definitif.
Menganalisis pengalaman dan Catatan Akademik dari analisis di atas, dapat dirangkum beberapa temuan penting yang relevan secara akademik: Pajak sebagai instrumen ganda di tangan Sri Mulyani, pajak bukan hanya pajak konsumsi, tetapi bagian dari sistem fiskal luas; dampaknya terhadap masyarakat tidak selalu hitam-putih, ada stabilisasi harga & proteksi sosial.
Intervensi fiskal & harga adalah sebagai alat stabilitas makro dan daya beli namun hal ini penting, terutama dalam konteks global yang tidak pasti. Kebijakan subsidi dan intervensi bisa membantu masyarakat rentan(Mudah dipengaruhi).
Keseimbangan antara pertumbuhan, stabilitas, dan keadilan fiskal adalah sangat sulit dilakukan. Kebijakan pro-pasar (investasi, utang) dan kebijakan pro-masyarakat (subsidi, proteksi) harus bersinergi.
Transisi kebijakan memerlukan transparansi dan komunikasi publik yang terutama soal pajak, beban fiskal, dan manfaat belanja negara; tanpa itu, terjadi resistensi(kemampuan untuk menolak).
Kondisi eksternal & struktural tetap menjadi tantangan, seperti gejolak harga komoditas global, inflasi dunia, serta ketergantungan pada penerimaan pajak dan minyak/ komoditas; ini membuat kebijakan fiskal harus adaptif dan responsif.
Dari artikel ini dapat diambil Kesimpulan bahwa: Siapa diuntungkan Kebijakan Negara, Masyarakat, atau Keduanya?, di masa Sri Mulyani, kebijakan fiskal tampak diarahkan ke kombinasi: memperkuat penerimaan negara (melalui pajak), menjaga stabilitas ekonomi makro, sambil memberi proteksi sosial dan stabilisasi harga, artinya potensi manfaat ke masyarakat luas yang ada, namun distribusi manfaat sering menjadi bahan kritik.
Sementara di bawah pimpinan Purbaya Yudhi Sadewa, ada perubahan kerangka kebijakan, dari basis utang ke basis pendapatan, prioritas pertumbuhan dan produktivitas, fleksibilitas fiskal, efisiensi belanja, dan potensi stimulus ke sektor produktif. Jika berhasil, hal ini bisa membawa kesejahteraan lebih luas (pekerja, pelaku usaha, masyarakat menengah ke bawah), bukan hanya mendukung belanja negara besar.
Namun hasil nyata sangat bergantung pada pelaksanaan, reformasi struktural, transparansi, dan keberpihakan kebijakan terhadap kelompok rentan, sehingga tantangan besar tetap ada.
Top of Form
Bottom of Form





Users Today : 52
Users Yesterday : 43
This Month : 349
This Year : 2841
Total Users : 2841
Views Today : 183
Total views : 11103
Who's Online : 1
Tinggalkan Jejak dengan berkomentar
Belum ada komentar. jadilah yang pertama!