Revitalisasi budaya lokal merupakan bagian penting dari upaya pelestarian identitas bangsa di tengah arus globalisasi. Salah satu bentuk budaya lisan masyarakat Aceh yang memiliki nilai religius, edukatif, dan estetis adalah nazam Aceh atau meurukon.
Hal ini membahas implementasi pembelajaran Nazam Aceh/meurukon bagi mahasiswa Semester 5 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Aceh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI) Bireuen pada Semester Ganjil Tahun Akademik 2025/2026.
Selain itu, praktisi budaya mampu meningkatkan pemahaman, keterampilan, dan antusiasme mahasiswa dalam melestarikan seni tutur Aceh. Hal ini dinilai sebagai model strategis dalam pewarisan tradisi lisan Aceh kepada generasi muda. Revitalisasi budaya, seni tutur Aceh, nazam Aceh atau meurukon, pembelajaran berbasis kearifan budaya lokal.
Perkembangan globalisasi dan modernisasi telah membawa dampak signifikan terhadap keberlangsungan budaya lokal di berbagai daerah di Provinsi Aceh. Tradisi lisan yang dahulu menjadi sarana utama pewarisan nilai-nilai sosial, agama, dan moral kini mulai terpinggirkan oleh budaya populer dan teknologi digital.
Oleh karena itu, revitalisasi seni tutur daerah menjadi suatu kebutuhan mendesak, tidak hanya sebagai upaya pelestarian budaya lokal, tetapi juga sebagai media pendidikan karakter bagi generasi muda.
Salah satu tradisi lisan khas Aceh adalah nazam Aceh atau meurukon, yaitu seni bertutur yang memadukan unsur sastra, religi, irama, dan dialog antara dua atau lebih penutur (syeh). Meurukon tidak sekadar menjadi hiburan, tetapi juga berfungsi sebagai media dakwah, pendidikan sosial, serta penyampai pesan-pesan moral dan budaya.
Perguruan tinggi, khususnya program studi yang berfokus pada bahasa dan sastra daerah, memiliki peran strategis dalam menjaga keberlangsungan tradisi tersebut. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Aceh (PBSA) FKIP Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI) Bireuen.
Namun ini, menjadikan mata kuliah Nazam Aceh/meurukon sebagai salah satu mata kuliah unggulan dalam kurikulumnya. Melalui mata kuliah ini, mahasiswa tidak hanya mempelajari konsep teoretis, tetapi juga terlibat langsung dalam praktik seni tutur Aceh.
Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan kegiatan pembelajaran Nazam Aceh/meurukon pada mahasiswa Semester 5, menganalisis peran dosen dan praktisi budaya, serta mengkaji dampaknya terhadap revitalisasi seni tutur Aceh di kalangan mahasiswa.
Seni tutur merupakan bentuk ekspresi budaya yang disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi. Tradisi ini mencakup cerita rakyat, hikayat, pantun, syair, dan bentuk-bentuk sastra lisan lainnya. Menurut teori folklor, tradisi lisan memiliki fungsi sosial, antara lain sebagai media pendidikan, penguatan identitas kelompok, dan sarana kontrol sosial.
Nazam Aceh/ meurukon merupakan salah satu bentuk seni tutur khas Aceh yang dipaparkan secara dialogis dengan irama tertentu. Tradisi ini biasanya ditampilkan oleh dua orang syeh atau lebih yang saling berbalasan,
Selain itu, dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan, sosial, dan budaya. Maka Meurukon memiliki struktur baku, meliputi khutbah pembukaan, pembacaan bismillah dan alhamdulillah, penyampaian tema utama, serta penutup.
Revitalisasi budaya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Perguruan tinggi memiliki posisi strategis dalam mengintegrasikan kebudayaan lokal ke dalam kurikulum. Model pembelajaran berbasis budaya lokal diyakini mampu meningkatkan kecintaan mahasiswa terhadap warisan budaya serta membentuk karakter yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal.
Selanjutnya, Kegiatan pembelajaran Nazam Aceh/meurukon dilaksanakan pada SemesterGanjil Tahun Akademik 2025/2026 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Aceh FKIP UNIKI Bireuen. Jumlah Mahasiswa pada Semester Ganjil ini adalah 24 orang mahasiswa,setiap hari kuliah belajar di ruang belajar di UNIKI Bireuen.
Metode yang digunakan dalam perkuliahan meliputi: Metode ceramah dan diskusi: penyampaian konsep dasar tentang sejarah, struktur, dan fungsi meurukon. Metode demonstrasi: praktisi budaya memperagakan teknik penyampaian nazam.
Disampingn itu, Metode praktik langsung: mahasiswa berlatih menyampaikan nazam secara individual dan berkelompok. Metode refleksi: mahasiswa dan dosen melakukan evaluasi bersama terhadap proses dan hasil pembelajaran.
Kegiatan ini diampu oleh dosen pengampu mata kuliah Nazam Aceh/meurukon, bapak Marzuki Umar, M.Pd., dengan melibatkan dua toh syeh meurukon, yaitu: Tgk. Saiful Asmadi Umar (Desa Cot Batee, Bireuen), Mukhtar Sulaiman (Desa Ujong Blang, Weujangka, Bireuen).
Materi pembelajaran yang dipaparkan dalam kegiatan ini meliputi beberapa aspek penting dalam tradisi meurukon, yaitu: Khutbah (Pembukaan) Meurukon Pembelajaran dimulai dengan pemahaman tentang pembukaan dalam meurukon yang berfungsi sebagai pengantar sekaligus penguatan suasana religius.
Mahasiswa diajarkan bagaimana menyusun dan melafalkan pembukaan secara tepat dan beretika. Masalah Permulaan: Bismillah dan Alhamdulillah Mahasiswa dilatih untuk memahami makna teologis dan filosofis dari bacaan Bismillah dan Alhamdulillah dalam konteks Nazam Aceh.
Hal ini bertujuan agar penyampaian tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga bermakna secara spiritual. Harto(Sifat dan karakter) Bismillah Salah satu fokus materi adalah penggalian makna kata per-kata dari Bismillah, yang kemudian dituangkan dalam bentuk nazam. Mahasiswa diajak untuk memahami hubungan antara bahasa, makna, dan ekspresi budaya.
Pancasila sebagai Implementasi Budaya, Materi ini mengaitkan nilai-nilai Pancasila dengan budaya Aceh, khususnya dalam tradisi meurukon. Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial dijelaskan sebagai bagian yang selaras dengan filosofi hidup masyarakat Aceh.

Aspek Agama dan Budaya Meurukon dipahami sebagai media dakwah kultural yang menyampaikan pesan-pesan agama dalam balutan seni. Mahasiswa diberi pemahaman mengenai pentingnya menjaga keseimbangan antara nilai agama dan budaya lokal.
Teknis dan Irama Meurukon Kedua syeh meurukon mengajarkan teknik pernapasan, artikulasi, tempo, serta irama khas yang menjadi ciri utama dalam penampilan nazam Aceh. Mahasiswa dilatih untuk menjaga konsistensi nada dan keharmonisan dalam berbalas nazam.
Dosen pengampu, Marzuki Umar, M.Pd., berperan sebagai fasilitator akademik yang menghubungkan konsep teoretis dengan praktik lapangan. Sementara itu, Tgk. Saiful Asmadi Umar dan Mukhtar Sulaiman berperan sebagai mentor budaya yang mentransfer pengetahuan praktis dan nilai-nilai luhur dari tradisi meurukon.
Kolaborasi ini menciptakan suasana pembelajaran yang autentik, di mana mahasiswa tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga langsung dari pelaku tradisi.
Berdasarkan pengamatan selama kegiatan ini, mahasiswa menunjukkan antusiasme yang tinggi. Mereka aktif bertanya, berdiskusi, dan berlatih. Menurut pernyataan kedua syeh meurukon: Mereka anak-anak hebat, sungguh-sungguh dan cepat kali bisa menirunya, padahal kan baru sekali ini kami datang. Semoga mereka bisa mewarisinya dengan baik. Cuma perlu adanya latihan berkala.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki potensi besar dalam menguasai seni tutur Aceh, meskipun baru pertama kali mendapat pelatihan langsung dari praktisi. Lebih lanjut, para syeh juga menyampaikan: Kami saja sudah puluhan tahun belajar, dan sampai saat ini, minimal sekali dalam seminggu.
Selain itu, pasti kami murajaah terhadap hal-hal yang akan kami sampaikan, terutama bidang agama. Pesan ini memperkuat kesadaran mahasiswa bahwa penguasaan tradisi seni tutur memerlukan latihan berkelanjutan dan kedisiplinan tinggi.
Mata kuliah Meurukon merupakan salah satu mata kuliah unggulan di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Aceh. Hal ini ditegaskan oleh Cut Santika, M.Pd., selaku Ketua Program Studi, yang menyatakan dukungan penuh terhadap kegiatan ini.
Menurut beliau, antusiasme mahasiswa dalam mengikuti kegiatan meurukon merupakan wujud nyata kepedulian generasi muda terhadap pelestarian sastra dan budaya Aceh. Dukungan kelembagaan ini menjadi faktor penting dalam keberlanjutan program revitalisasi budaya di lingkungan akademik.
Kegiatan pembelajaran Nazam Aceh/meurukon memiliki beberapa implikasi penting, antara lain: Penguatan Identitas Budaya Mahasiswa Mahasiswa menjadi lebih mengenal dan mencintai warisan budaya daerahnya.
Peningkatan Kompetensi Pedagogis Sebagai calon guru bahasa dan sastra Aceh, mahasiswa memperoleh keterampilan praktis yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Model pembelajaran berbasis kearifan Lokal, dapat dijadikan model bagi program studi lain dalam mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pembelajaran.
Revitalisasi seni tutur Aceh melalui pembelajaran Nazam Aceh/meurukon bagi mahasiswa Semester 5 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Aceh FKIP UNIKI Bireuen terbukti menjadi strategi efektif dalam melestarikan warisan budaya daerah.
Kolaborasi antara dosen profesional dan praktisi budaya mampu meningkatkan pemahaman, keterampilan, dan kecintaan mahasiswa terhadap tradisi lisan Aceh. Selain itu, Antusiasme mahasiswa, dukungan program studi(Kaprodi).
Hal ini, keterlibatan langsung para syeh meurukon menunjukkan bahwa tradisi ini masih memiliki daya hidup yang kuat jika dikelola secara sistematis melalui pendidikan formal. Oleh karena itu, kegiatan serupa perlu dilakukan secara berkelanjutan sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya nasional.
Penulis:
Yusri,S.Sos.,M.Si.,M.S
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisniss UNIKI Bireuen
